Pin It

28 May 2016

Posted by Widodo Groho Triatmojo on 23:37

Mengenang 10 Tahun Gempa Dahsyat Yogyakarta

Sabtu 27 Mei 2006 pukul 05.54 WIB bukanlah hari biasa bagi warga Jogja dan Klaten. Pagi itu bumi Yogyakarta bergolak. Guncangan gempa selama 57 detik tersebut membuat ribuan bangunan rusak dan rata dengan tanah. Sekitar 5.800 orang tewas dan 20.000 luka-luka. Banyaknya jumlah korban membuat gempa Yogyakarta tercatat sebagai gempa di Jawa yang paling mematikan. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebagaimana United States Geological Survey (USGS) mencatat, gempa berkekuatan M 6,3 itu berpusat pada 7,962 Lintang Selatan dan 110,43 Bujur Timur dengan kedalaman hanya 10 km.


Daerah yang mengalami kerusakan dan kerugian terparah terletak di sepanjang Patahan Opak (Opak Fault). Patahan Opak merupakan garis patahan memanjang yang membentuk lembah Opak. Patahan sepanjang 30 km itu berpangkal di Sanden, Kabupaten Bantul, DIY, dan berujung di Tulung, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.

Kini 10 tahun sudah berlalu sejak kejadian tragis itu. Apa kabar Yogyakarta? Warga Yogyakarta pun berjuang meneruskan hidup, melupakan kejadian yang merenggut nyawa pasangan hidup, orang tua, anak, maupun sanak keluarga dan teman. Beberapa warga Yogyakarta harus berpindah menempati rumah dan lingkungan yang sama sekali baru. Salah satunya adalah mereka yang kini menghuni rumah dome.

Bagi ilmuwan, gempa Yogyakarta pada 27 Mei 2006 pagi bukan saja momen kesedihan, tetapi peristiwa penuh teka-teki yang hingga saat ini belum bisa dijelaskan secara gamblang. Beberapa saat setelah gempa, ketika warga dan para relawan masih sibuk dengan evakuasi korban gempa, dunia ilmiah sudah diwarnai kontroversi.

Para ahli meyakini, gempa Yogyakarta dipicu aktivitas sesar Opak. Namun kontroversi awal yang muncul adalah di mana pusat gempa Yogyakarta? Setidaknya ada lima versi pusat gempa berdasarkan analisis dari berbagai lembaga dunia.

Wajar saja jika hasil analisis nampak berbeda. Hal ini karena masing-masing menggunakan dasar, model, dan perangkat yang berbeda. Setiap analisis bisa saja benar namun tetap memiliki dampak secara ilmiah.

United States Geological Survey

Berdasarkan analisis USGS, pusat gempa Yogyakarta 2006 berada pada 7.962°LS, 110.458°BT, tenggara kota Yogyakarta, dekat wilayah Dlingo, Bantul, atau sebelah timur pusat kerusakan gempa.

USGS menyatakan, gempa berkekuatan M 6,3 dengan pusat gempa pada kedalaman 10 kilometer. Artinya, gempa termasuk gempa dangkal. Pernyataan USGS bisa saja benar. Episentrum gempa Yogyakarta menurut USGS berdekatan dengan episentrum beberapa gempa-gempa setelah 27 Mei 2006. Namun, ada satu hal yang mengganjal. Bila pusat gempanya berada jauh ke timur, bagaimana mungkin pusat kerusakan akibat gempa berada pada jarak jauh di barat?

Hingga beberapa tahun kemudian - di tengah ramainya bencana lumpur Lapindo yang diduga dipicu oleh gempa Yogyakarta - para ahli terus meneliti sumber-sumber gempa Yogyakarta.

Studi TR Walter (GeoForschungsZentrum Potsdam, Jerman) dan rekan mengungkap, pusat gempa berada pada 10-20 kilometer dari pusat kerusakan.

TR Walter et.al/EOS

Gelombang gempa diperbesar saat melewati wilayah pusat kerusakan. Perbesaran terjadi karena wilayah yang banyak mengalami kerusakan tersusun atas endapan vulkanik dari Gunung Merapi.

Studi yang dilakukan Takeshi Tsuji dari Kyoto University, Irwan Meilano dari ITB, dan rekan memberi petunjuk lebih gamblang tentang episentrum gempa Yogyakarta tahun 2006.

Menurut studi itu, pusat gempa berada 10 kilometer dari sesar Opak yang diketahui selama ini. Mekanisme gempa Yogyakarta juga bukan hanya gerak sesar mendatar, tetapi juga vertikal.


Muncul pertanyaan baru. Jika sumber gempa Yogyakarta berada pada jarak 10 kilometer dari sesar Opak, lantas sesar apa yang menyebabkannya? Ada dugaan, sesar Opak tak seperti yang diduga selama ini. Sesar Opak tidak tegak lurus melainkan miring ke arah timur. Di wilayah timur, sesar opak lebih dalam.

Sejarah mencatat tahun 1867 terjadi gempa besar yang menyebabkan kerusakan besar rumah–rumah penduduk, bangunan Keraton Yogyakarta, dan kantor–kantor pemerintah kolonial. Gempa besar juga terjadi pada tahun 1937, 1943, 1976, 1981, 2001, dan 2006. Namun, gempa dengan jumlah korban besar terjadi pada tahun 1867, 1943, dan 2006.

Kini, 10 tahun berlalu sejak gempa 2006, kerak di bawah Yogyakarta tidak lantas diam, gejolak tektonik masih tetap ada. (Di sarikan dari berbagai sumber, Kompas, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat).
Pemerhati transportasi publik, bus, truck serta sejarahnya.
  • Facebook
  • WhatsApp
  • Instagram
  • Next
    « Prev Post
    Previous
    Next Post »

    Note: Only a member of this blog may post a comment.

    Terima Kasih

    Followers