Pin It

14 February 2016

Posted by Widodo Groho Triatmojo on 20:50

Kritik Media Terhadap Penguasa Merupakan Bagian Dari Sunah Rasul

Keterbukaan ruang publik merupakan prasyarat fundamen dalam mewujudkan tatanan pemerintahan yang demokratis dengan menempatkan rakyat sebagai mitra yang sebangun dan sejajar. Kritik terhadap penguasa yang menjalankan roda pemerintahan merupakan salah satu instrumen yang inheren dalam paradigma pembangunan partisipatoris. Karena medium kritik itulah yang akan menciptakan check and balances, sehingga kerja-kerja pemerintahan akan on the track, sesuai dengan kaidah-kaidah demokrasi.

Kritik terhadap penguasa juga disyariatkan dalam Islam. Ia merupakan bagian dari amar ma’ruf nahi munkar yang hukumnya fardhu kifayah. Karenanya, di dalam umat harus senantiasa ada orang-orang yang melakukan kewajiban ini, kalaupun tidak bisa dilakukan oleh mereka secara keseluruhan. Hal ini banyak dijelaskan baik dalam al-Quran maupun as-Sunah. Diantaranya firman Allah SWT, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia” (al-baqarah: 143).

Pada zaman kehidupan Rasullah SAW, kritik pernah terjadi, dimana budaya mengkritisi ini telah dicontohkan dalam kehidupan Rasulullah SAW. Para shahabat sebagai rakyat pernah melakukan mengkritisi kepada kebijakan pemerintahan Rasulullah SAW dan para Khulafaur Rasyidin. Rasulullah, pernah dinasihati Hubbab bin Mundzir dalam menentukan posisi pasukan di medan perang Badar.

Pada saat ditandatangani perjanjian Hudaibiyah kaum Muslim menampakkan ketidaksetujuan mereka kepada beliau. Sedang seusai perang Hunain, para sahabat Anshar menampakkan rasa kecewa melihat Rasulullah memberikan ghanimah kepada para pemimpin Quraisy yang baru masuk Islam (al-muallafatu qulubuhum), tanpa memberikan satu bagian pun untuk mereka.

Para shahabat mempertanyakan pembagian kain dari Yaman kepada pemerintahan Umar bin Kha-ththab. Beliau juga pernah diprotes oleh seorang wanita yang menentang kebijakan pembatasan mahar.

Bagaimanakah sikap Rasul SAW dan para Khalifah dalam menghadapi muhasabah yang dilakukan oleh para sahabat yang berstatus sebagai rakyat? Rasulullah menerima pendapat Hubbab lantaran beliau melihat adanya ke-ahlian Hubbab dalam strategi pertempuran. Dalam perang Uhud, beliau menyetujuinya pendapat para shahabat yang menghendaki untuk menyongsong pasukan Quraisy di luar kota Madinah meskipun beliau sendiri berpendapat sebaliknya. Pada perjanjian Hudaibiyah beliau tetap bertahan dalam menghadapi protes para shahabat. Sebab, hukum perjanjian tersebut merupakan wahyu yang baru beliau terima.

Tatkala wanita memprotes kebijakan khalifah Umar Ibnu al-Khattab dengan membaca firman Allah SWT: “Maka janganlah kamu mengambil kembali (mahar) dari padanya barang sedikitpun” (QS. An Nisaa 20), maka Khalifah Umar berkata, “Benarlah wanita itu dan sayalah yang keliru” (lihat Abdul Aziz Al Badri, Peran Ulama dan Penguasa).

Dari contoh-contoh diatas kita melihat, bahwa kontrol sosial atau menasehati penguasa merupakan sunnah rasul dan tabi’at para pemimpin Islam. Rakyat, tanpa memandang status sosialnya merasa berkewajiban dan berani mengkritik atau mengoreksi segala kebijakan atau tindakan yang dilakukan pejabat Negara, pada setiap kesempatan terbuka.


Maka munculnya seseorang dalam ranah politik, tidak harus selalu diberitakan bombastis. Selalu ada motif politik di dalamnya. Siapa pun penguasa, media wajib mengontrol! Dan kontrol itu wujudnya skeptis dalam cara memandang! Skeptisisme media bukan berarti ingin menjebloskan penguasa pada pilihan yang tidak prorakyat dan mencemarkan nama baiknya. Justru media "menolong" penguasa dalam bekerja. Media tetap harus mengkritik penguasa kalau ia belum bisa menuntaskan persoalan. Sebab, lisan jurnalis itu mestinya mewakili artikulasi masyarakat.

Semestinya, meskipun penguasa itu baik, dia tetap politikus. Ada motif politik di balik setiap tindakannya. Ada strategi politik yang ia usung. Ia juga ada motif menjadi yang terbaik. Ideologi politik itu kekuasaan. Semakin sukses seorang politikus, semakin tinggi kursi yang ia dapat. Kalau sekarang berada di kursi bupati, boleh jadi kursi gubernur adalah incaran berikutnya dan seterusnya. Ini manusiawi. Lumrah. Tak ada masalah. Yang menjadi masalah ialah jika media massa malah ikut larut dalam euforia penokohan itu.

Selama pemberitaan masih proporsional dengan tugas mereka selaku politikus dan legislator, sewajarnya memberitakan. Namun, jika sudah taraf membesar-besarkan, itu yang tidak bagus. Efeknya masyarakat hanya menilai sebagai pencitraan saja.
Pemerhati transportasi publik, bus, truck serta sejarahnya.
  • Facebook
  • WhatsApp
  • Instagram
  • Next
    « Prev Post
    Previous
    Next Post »

    Note: Only a member of this blog may post a comment.

    Terima Kasih

    Followers