Pin It

25 February 2016

Posted by Widodo Groho Triatmojo on 20:52

Keberagaman Kebumen dalam Dua Logat Bahasanya

Dalam kesempatan kali ini, saya akan berbagi fakta unik kota kelahiran saya yakni Kebumen. Kota bersemboyan Beriman (Bersih, Indah, Manfaat, Aman, dan Nyaman) dan dengan Moto "Bhumi Tirta Prajamukti". Kota yang terkenal dengan tari Lawetnya. Tari lawet merupakan tari khas Kebumen. Tari yang diciptakan oleh bapak Sardjoko yang lahir di Klaten tanggal 4 Agustus 1949. Tari lawet ini diciptakan bulan Februari 1989 berawal dari bupati yang menghendaki adanya tarian masal khas Kebumen pada pembukaan Jambore Daerah tingkat Jateng di Widoro. Kebumen memang unik, kota kecil namun beragam adat, budaya dan logat bahasa. Kebumen itu Bhineka dalam Ika dan Ika dalam Bhineka.


Kabupaten Kebumen tidak begitu luas, luas wilayah hanya 158.111, 50 ha atau 1.581, 11 km² dengan kondisi beberapa wilayah merupakan daerah pantai dan pegunungan, namun sebagian besar merupakan dataran rendah.

Dari logat bahasanya Kebumen terbagi dua, sebelah timur aliran sungai Lukulo berbahasa dengan dominan ‘o’, dan bandek (Poko’e) dan di sebelah barat aliran sungai Lukulo dominan vokal “a” dan “k” medok, (Pokoke), dan dia antara aliran sungai Lukulo dan aliran sungai Kedungbener ini bahasanya “campur aduk”, ada yang memakai Poko’e ada yang memakai Pokoke, sedangkan sebelah utara Gunung Krakal masyarakat lebih fasih berbicara dengan logat Wonosobo dengan memanjangkan fonem akhir. Sedang di Kecamatan Padureso, Poncowarno dan Alian lebih kental logat Wonosobo.

Kebiasaan dan adat istiadat di Kebumen juga beragam. Penduduk yang tinggal di sebelah barat sungai Lukulo lebih suka nanggap Calung sedangkan penduduk yang tinggal di sebelah timur sungai Lukulo lebih suka nanggap Wayang.

Orang Kebumen yang tinggal di sebelah timur aliran sungai Lukulo disebut “Wong wetan kali”, diantaranya Kecamatan Kutowinangun, Ambal, Mirit lebih terkesan “mriyayi”. Sebaliknya orang Kebumen yang tinggal di sebelah barat aliran sungai Lukulo disebut “Wong kulon kali”, diantaranya Kecamatan Pejagoan, Klirong, Sruweng, Petanahan, Kuwarasan, Gombong, lebih terkesan “merakyat”.

Dari dua pembagian wilayah geografis di daerah Kebumen ini, kita bisa membaca bahwa sebenarnya Kebumen adalah daerah “Jepitan” dari dua budaya besar Bagelen dengan Banyumas yang terlebih dahulu mapan dan menonjol dengan ciri khas daerahnya. Budaya bagelen adalah budaya di daerah Purworejo, budaya ini logat bahasanya “Mbandek” poko’e, dan cenderung lebih memakai tata krama dalam berbahasa. Hal ini sebab Purworejo dekat kepada Yogyakarta, yang merupakan daerah bangsawan keraton yang penuh “Unggah Ungguh”. Wetan Kali Kebumen lebih halus dan mriyayi dikarenakan lebih dekat kepada budaya besar “Ngayogyokarto” wajar jika orang wetan kali lebih tata krama secara bahasa karena dipenuhi dengan aturan-aturan kepriyayen.

Sedangkan daerah kulon kali lebih mendekati budaya Banyumas yang sangat merakyat, bahasa Banyumas adalah bahasa keseharian kaum Tani, yang jarang menggunakan kata basa basi sehingga terkesan keras karena langsung ke pokok persoalan, juga karena tidak ada perbedaan bahasa yang signifikan untuk berkomunikasi dengan atasan maupun bawahan. Artinya orang kulon kali lebih “Mbawor” dan seadanya karena tidak ada aturan-aturan khusus yang mengikat.

Pertemuan dua wilayah geografis ini dideklarasikan pada tanggal 1 Januari 1936, dengan bersatunya Kebumen dan Karanganyar. Tanggal itulah yang kemudian dijadikan patokan sebagai hari jadi Kebumen yang diperingati tiap tahun.

Yang menarik dicermati dari masyarakat Kebumen adalah keterbukaannya dalam menerima budaya apapun yang masuk, walaupun konsekuensinya Kebumen sampai hari ini belum menemukan jati dirinya. Keterbukaan dalam menerima berbagai macam budaya lain ini bukan berarti di Kebumen masyarakatnya adem ayem saja.

Di balik keluwesan itu tersimpan bara yang siap menyembul ke permukaan jika ada pemicunya. Seperti kerusuhan 1965 di Kebumen antara Tentara dengan PKI. Kemudian keluwesannya dalam menerima DI/TII yang sampai menimbulkan pemberontakan. Sejarah juga mencatat kuatnya pasukan Angkatan Oemat Islam di Somalangu. Pernah juga terjadi kerusuhan pada Rabu, 9 September 1998 antara pribumi dan non pribumi terlepas dari permainan politik manapun. Jika kita lebih mendalami akar budaya dari seluruh rangkaian sejarah dan apapun yang terjadi di Kebumen maka kita akan segera bisa menarik kesimpulan bahwa sebetulnya budaya Kebumen adalah budaya perlawanan namun juga terbukti mampu berjalan bersama dalam kemajemukan.
Pemerhati transportasi publik, bus, truck serta sejarahnya.
  • Facebook
  • WhatsApp
  • Instagram
  • Next
    « Prev Post
    Previous
    Next Post »

    Note: Only a member of this blog may post a comment.

    Terima Kasih

    Followers