Pin It

05 July 2016

Posted by Widodo Groho Triatmojo on 09:34

Ciri Khas Musik Indonesia

Dalam sebuah kesempatan seseorangbertanya, apakah ciri khas dari musik (populer) Indonesia. Meski terkesan sederhana, pertanyaan ini sesungguhnya sulit untuk dijawab. Beberapa tahun sebelumnya hal serupa pernah saya ajukan kepada Arian13 – frontman Seringai, apakah kekhasan musik Metal Indonesia. Dengan lugas ia menjawab, lirik. Lirik lagu, secara kebahasaan maupun melalui tema lagu. Kritik sosial-politik memang menjadi tema besar lirik Metal Indonesia. Dalam film dokumenter berjudul “Global Metal,” Sam Dunn pernah mengatakan hal senada ketika ia meliput kancah Metal di Jakarta.


Ia menambahkan bahwa muatan kritik seperti itu umumnya ia temukan dalam musik Punk, bukan Metal. Perlu ditegaskan di sini apakah ciri khas musik (populer) Indonesia harus secara gamblang menunjukkan kebudayaan Indonesia – yang sebenarnya masih dalam perdebatan besar – atau, cukup sebatas sejauh mana makna keindonesiaan dapat ditemukan dalam musik tersebut.

Persoalan ciri khas Indonesia dalam musik (populer) dapat saja kita telusuri dari berbagai aspek. Hal paling sederhana adalah dengan memasukkan muatan musik tradisi ke dalam formulasi dan struktur musik populer. Dari tangga nada, beat/irama, struktur ritmik, hingga penggunaan alat musik tradisi sebagai fitur dari sebuah komposisi. Banyak musisi yang melakukan hal seperti ini, seperti band jazz Krakatau dan SimakDialog. Dangdut Pantura, dalam kasus ini merupakan contoh menarik. Para musisinya mengambil esensi dari beat/irama jathilan dan mengimplementasikannya kembali secara segar dengan instrumen musik Barat. Kasus lain yang tidak kalah unik adalah eksplorasi para musisi Death Metal asal Ujung Berung (Bandung) terhadap instrumen Karinding.

Dalam khazanah musik populer dunia, kasus-kasus seperti ini sudah banyak terjadi. Ketika musik blues kulit hitam Amerika dimainkan oleh anak-anak muda Inggris, lahirlah kemudian musik hard rock hingga beragam turunannya kini. Band thrash metal asal Brazil, Sepultura juga melakukan hal sama dalam album “Roots” (1998). Di sisi lain, ada kasus lain yang tidak kalah menarik untuk diperdebatkan. Pada lagu “Pengulangan” dari album keduanya yang bertajuk “Laju” (2009), Bonita menampilkan instrumen musik guzheng (kecapi Tiongkok) sebagai instrumen utama.

Guzheng meliuk di antara alunan vokal Bonita yang kokoh. Ketika keindonesiaan ingin ditampilkan secara esensial melalui elemen-elemen musikal yang ajeg, maka akan menjadi sulit menemukan keindonesiaan dalam kasus lagu “Pengulangan” milik Bonita tadi. Sama sulitnya dengan menjawab pertanyaan seperti ini: Saya berdarah Madura, Indo-Austria-Belanda bercampur Jawa Timur dan sedikit Hokkian; lahir dan besar di Jakarta; tumbuh dalam nilai-nilai tradisi Jawa dan Islam Jawa; fasih berbahasa Jawa tapi tidak mengenal wayang sama sekali; penggemar musik rock; keindonesiaan macam apakah yang harus saya tampilkan untuk merepresentasikan diri? Jika kita mengamini bahwa musik merupakan bagian integral dari praktik kebudayaan, maka seharusnya kita memahami betul bahwa kebudayaan memiliki kompleksitas jejaring maknanya.

Kompleksitas ini tidak dapat direduksi seperti halnya Taman Mini Indonesia Indah menampilkan berbagai provinsi Indonesia. Kedua hal tersebut merupakan kasus yang berbeda dan harus dibaca dengan pendekatan yang berbeda pula.

Yuka Dian Narendra (yuka.narendra@gmail.com, culturalidiot.blogspot.com)
Pemerhati transportasi publik, bus, truck serta sejarahnya.
  • Facebook
  • WhatsApp
  • Instagram
  • Next
    « Prev Post
    Previous
    Next Post »

    Note: Only a member of this blog may post a comment.

    Terima Kasih

    Followers