Pin It

20 January 2015

Posted by Widodo Groho Triatmojo on 17:17

Begitu Kontras Kisah Sri Di Brasil Dan Marco Archer Cardoso Di Indonesia

Ini adalah salah satu peristiwa kemanusiaan. Salah seorang warga negara Indonesia pada tahun 2006 pernah tertangkap di Brazil karena membawa 8 kg kokain. Apa yang terjadi kemudian? Wanita itu bernama Sri. Karena kesulitan hidup akibat usahanya yang bangkrut yang menyisakan banyak hutang, Sri berusaha mencari jalan melunasi hutang-hutangnya. Karena salah langkah Sri justru terjerat menjadi kurir sindikat narkoba internasional. Pada tanggal 15 Maret 2006 Sri tertangkap di airport Rio de Janeireo membawa 8 kg kokain senilai 30 milyar yang disembunyikan di koper titipan temannya bernama Ben. Yang belakangan diketahui sebagai salah satu sindikat narkoba di Jakarta. 

 
Sri ditangkap dan dihukum 2 tahun lebih di penjara Brazil. Kenapa hukumannya untuk ukuran Indonesia sangat ringan bagi kurir yang kedapatan membawa 8 kg kokain?

1. Di Brazil tidak ada hukuman mati.
2. S percaya bahwa hakim-hakim di Brazil menyadari bahwa wanita lulusan SD ini hanya korban dari sindikat narkoba yang menjerat lewat modus hutang piutang.
3. Rumor yang beredar bahwa ada upaya diplomasi RI untuk meringankan hukuman Sri dan akhirnya berhasil. Baca selengkapnya cerita Sri di KOMPAS 


Kesalahan yang telah dibuat Sri pasti menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi hidupnya. Saya yakin banget kalo Sri hari ini pasti sangat bersyukur untuk kesempatan hidup kedua yang telah dia peroleh.

Lalu bagaimana kalau peristiwa itu terjadi juga terhadap warga Negara Brazil di Indonesia? Adalah Marco Archer Cardoso Moreira (53) WN Brazil yang mengalami nasib yang naas seperti Sri tetapi berakhir dengan tragis. 

  
  Marco Archer Cardoso Moreira (53) WN Brazil yang mengalami nasib yang naas dan berakhir dengan tragis. Dieksekusi mati oleh perintah Jokowi lewat Jaksa Agung tanggal 18 Januari 2014. Lalu bagaimana cerita Marco sebenarnya?

Cerita Marco saya dengar langsung dari teman saya yang melakukan kunjungan sosial ke lapas di Nusakambangan dan bertatap muka dengan Marco selama tahun 2014. Banyak yang diceritakan almarhum termasuk untold story yang akan saya ceritakan dibawah ini.

Marco ditangkap di Soekarno Hatta bulan Agustus 2003 karena membawa 13,4 kg kokain. Sebenarnya pengakuan Marco kepada teman saya, dia membawa 20 kg kokain. Lalu pertanyaannya, kemana sisa 6,6 kg kokainnya? Kok bisa paket kokain berisi 20 kg menguap lalu tiba-tiba tinggal 13,4 kg setelah disita aparat. Marco hanya biasa geleng-geleng kepala dengan kelakuan oknum aparat penegak hukum Indonesia. Tetapi bagi kita orang Indonesia sudah menjadi rahasia umum oknum aparat biasa menjual kembali barbuk (barang bukti). Jadi pertanyaannya adalah, mungkin selama ini kita menganggap Marco adalah penjahat tapi siapa sebenarnya penjahatnya?

Profesi Marco adalah seorang pilot. Suatu hari ia mengalami kecelakaan gantole di Bali sehingga ia harus dirawat di Singapore. Karena kecelakaan tersebut menyebabkan banyak tulangnya patah maka tubuh Marco di penuhi oleh plat-plat. Karena biaya pengobatan yang mahal tersebut Marco jatuh bangkrut dan terlilit hutang. Sama seperti kasus Sri.

terjerat hutang akhirnya Marco pun menjadi kurir narkoba. Marco seorang yang berprofesi sebagai pilot bukan orang yang mencari uang haram sebagai anggota sindikat. Marco berkata, “Saya bukan pemakai, saya bukan bandar narkoba. Saya juga bukan anggota sindikat. Buktinya saya menghadapi seorang diri 10 tahun di penjara ini.” Waktu sidang di pengadilan tidak ada satu hakim pun yang menggubris pembelaannya lalu ia divonis hukuman mati. Begitu juga upaya grasinya ditolak oleh Jokowi tanpa melihat sisi kemanusiaannya. Kalo hakim-hakim di Brazil melihat bahwa Sri pantas mendapat kesempatan kedua dan memperbaiki hidupnya menjadi lebih baik ternyata Presiden Jokowi tidak.

Selama 10 tahun dipenjara Marco sangat menderita. Bayangkan plat diseluruh tubuhnya tidak pernah mendapat perawatan yang memadai. Setiap hari Marco berusaha menahan rasa nyilu seluruh tulangnya. Sambil berlinang airmata ia menceritakan satu-satu anggota keluarganya meninggal selama ia di penjara. Ibunya meninggal, kemudian ayahnya lalu disusul kakaknya di Brazil. Marco mengalami stress berat. Ia akhirnya banyak berbicara dengan monyet yang ada di pekarangan lapas. Bahkan dia sudah menganggap dirinya sendiri monyet. Ada penyesalan yang sangat mendalam sehingga mengakibatkan Marco mengalami depresi.

Teman-teman sel di Nusakambangan menganggap Marco sebagai pribadi yang menyenangan walaupun mengalami depresi. Setiap pagi mereka selalu mendengar Marco menyanyi kecil. Mendatangi mereka dengan wajah yang lucu, guyonan yang menghibur. Setidaknya dengan kehadiran Marco mereka merasa menjalani hukuman penjara menjadi lebih mudah. Itulah kesan yang sangat mendalam bagi mereka sebagai rekan sesama narapidana di Nusakambangan. 

Suatu hari ada rombongan yang datang ke lapas mengaku sebagai anggota keluarga Marco. Ternyata yang datang adalah tim yang akan mengisolasi Marco sebelum eksekusi. Menurut cerita teman-teman di lapas, Marco sangat ketakutan. Marco sampai terkencing-kencing karena begitu takutnya. Dia berpikir akan dieksekusi hari itu. Seorang temannya sesama narapidana menawarkan diri untuk mengganti celananya yang sudah basah tapi dilarang dengan kata-kata kasar oleh salah satu aparat. Sebuah tindakan yang sangat tidak manusiawi. Setelah memenjarakannya selama 10 tahun tanpa perawatan memadai terhadap plat-plat di tubuhnya, mengalami depresi berkepanjangan, diisolasi dengan tidak manusiawi bahkan diakhir hidupnya Marco pun tidak dapat bertemu rohaniawannya. Jadi jangan berharap seperti di film dimana terpidana mati mendapat perlakuan baik dengan menghormati permintaan-permintaan terakhirnya. Di Indonesia perlakuannya jauh dari kata kemanusiaan. 

Setelah membaca tulisan ini, saya berharap pembaca mengerti kenapa separuh negara di dunia ini menghapus hukuman mati untuk segala kejahatan. Dari tahun ke tahun semakin banyak negara yang meratifikasi anti hukuman mati bukan sebaliknya. Lalu kenapa Presiden Jokowi melakukannya??? Perang melawan narkoba???? Bukannya kalau perang melawan mafia yang pertama kali diperangi adalah aparat penegak hukumnya yang korup bahkan yang membekingi mafia narkoba. Mulai dari pangkat rendah, menengah dan tinggi yang terindikasi korupsi atau mempunyai rekening gendut (kekayaan tidak wajar) mencurigakan ditangkap bukannya dipromosikan.

Pertemuan teman saya terakhir dengan Marco di bulan Oktober sebelum Presiden Jokowi mengumumkan menolak semua grasi terpidana mati kasus narkoba. Marco berkata kepada temen saya, “Don’t come for me for Christmas, I’ll be home in January”. Waktu mendengar kata-kata tersebut teman saya tertawa dan berpikir Marco sedang bercanda. Bagaimana seorang terpidana mati bisa bebas.  Tetapi setelah 3 bulan kemudian perkataan itu menjadi kenyataan. Atas perintah Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengeksekusi Marco Archer Cardoso Moreira, Marco pun menepati kata-katanya, “…..I’ll be home in January”.
 
Pemerhati transportasi publik, bus, truck serta sejarahnya.
  • Facebook
  • WhatsApp
  • Instagram
  • Next
    « Prev Post
    Previous
    Next Post »

    Note: Only a member of this blog may post a comment.

    Terima Kasih

    Followers