Pin It

06 December 2014

Posted by Widodo Groho Triatmojo on 02:59

Seberapa Yakinkah KASUM Kalau Pollycarpus Pembunuh Munir

Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM) sudah mengirim surat somasi kepada Presiden Jokowi dan Menkumham Yasonna H Laoly. Somasi itu terkait pemberian pembebasan bersyarat untuk Pollycarpus Budihari Priyanto, terpidana pembunuhan aktivis HAM Munir. Ada 3 poin yang akan disampaikan dalam somasi, salah satunya karena belum terungkapnya dalang/aktor intelektual. Menurut KASUM belum terungkapnya dalam kasus pembunuhan Munir ini membahayakan proses penegakan hukum berikutnya, dikhawatirkan Pollycarpus bisa merusak, menghilangkan dan atau mengaburkan bukti-bukti yang masih ada dan belum didapatkan oleh penyidik.


Pertanyaannya, seberapa yakinkah KASUM kalau Polly adalah pelaku pembunuhan Munir? Bagaimana kalau Polly bukan pembunuh Munir? Mungkinkah ada teori-teori lain dalam kasus Munir?

Sayangnya KASUM dan rekan-rekannya seolah menutup dengan adanya teori lain dalam kasus Munir. Dan mereka akan memberi stempel “pendongeng hitam” kepada siapa pun yang berlainan pendapat dengan mereka. Hebatnya lagi, ketika pertama kali Muchdi PR hadir dalam persidangan, mereka yang mengaku aktivis HAM itu meneriakinya dengan pembunuh. “Pembunuh ...pembunuh ..,” itu teriak para pejuang HAM sebagaimana yang saya saksikan lewat televisi..

7 Sept 2004  Munir  meninggal di atas pesawat Garuda dengan nomor GA-974 ketika sedang menuju Amsterdam untuk melanjutkan kuliah pasca-sarjana. Sesuai dengan hukum nasionalnya, pemerintah Belanda melakukan otopsi atas jenazah almarhum. Hasil otopsi oleh Institut Forensik Belanda (NFI) membuktikan bahwa Munir meninggal akibat racun arsenik dengan jumlah dosis yang fatal.

Logikanya, jika Munir dibunuh dalam penerbangannya, maka pelakunya pasti seorang atau kelompok yang mampu melakukan pembunuhan dengan tingkat kesulitan tinggi.
“Dalam percakapan telepon ini, si polisi menyebutkan bahwa Munir tewas karena keracunan arsenik. Saya kira bahwa pelakunya sangat pintar. Sebab, kasus keracunan semacam itu terjadi tidak sampai 10%. Biasanya bunuh diri. Untuk kasus pembunuhan sangat jarang. Bahwa si pelaku pintar mencari racun yang termasuk ideal untuk membunuh (ideal poisioning), yaitu arsenik karena tidak ada rasa, bau, dan warna,” papar Mun’im Idris dalam bukunya “Indonesia X-Files”.

Menarik untuk disimak pengakuan Mun’im dalam bukunya. Mun”im menceritakan, “Saya pernah ditelepon Kabareskrim Mabes Polri yang saat itu dijabat Bambang Hendarso Danuri (BHD). Saya dipanggil ke Mabes Polri. BHD bicara singkat. Kata dia, ‘Dokter, ini untuk Merah Putih (Indonesia)’. Saya tanya, ‘Lho, kenapa Pak?’ Lalu dia menjelaskan, ‘Kalau kita tidak bisa masukkan seseorang ke dalam tahanan sebagai pelaku, dana dari luar negeri tidak cair. Karena dia tokoh HAM. Kemudian obligasi (surat-surat berharga) kita tidak laku, Dok”.

Jadi, harus ada yang dipidana! Perkara kebenaran terungkap atau tidak itu soal kedua. Selanjutnya, “untuk merah putih”, artinya harus ada “patriot” yang rela dikorban demi bangsa dan negaranya.

karena logikanya pembunuh Munir adalah seorang atau kelompok profesional, maka kemudian dibangun fakta-fakta pendukungnya. Karakteristik pelaku yang tepat untuk menjawab logika itu adalah BIN atau oknum BIN karena memiliki aset dan akses ke Garuda dan institusi lainnya.

Setelah “identitas” pelaku ditetapkan, baru kemudian bukti-bukti “diletakan” sebagai penguat skenario pembunuhan berkelas “intelijen”. Surat menyurat antara BIN dan Garuda dilayangkan. Rekaman CCTV di bandara Soeta dihilangkan. Polly dilibatkan. Saksi mata yang melihat Polly bercakap dengan Munir di Changi dihadirkan. Polly pun kemudian diperankan sebagai agen BIN lengkap dengan kepemilikan pistolnya. Polly pun disebut pernah berada di markas BIN. Muchdi PR pun kemudian diposisikan sebagai otak pembunuh Munir. Hubungannya dengan pembunuhan itu dibangun lewat adanya komunikasi seluler antara Muchdi dan Polly.

Jika diperhatikan, semua bukti yang mengarah kepada keterlibatan BIN atau Muchdi bisa dikondisikan setelah kematian Munir. Atau dengan kata lain dibuat setelah kematian Munir. Tapi, ada satu bukti yang tidak bisa dikondisikan setelah waktu pembunuhan. Bukti itu adalah percakapan antara Polly dengan Muchdi. Bukti percakapan yang terekam dalam Call Data Record (CDR) ini sudah pasti tidak bisa dikondisikan sebagai mana surat yang bisa dibuat atau rekaman CCTV yang bisa dihilangkan. Dan apabila dibuat atau diedit, maka dengan mudah rekayasa pada CDR akan terungkap. Mungkin inilah penyebab CDR belum juga disodorkan sebagai bukti di persidangan.

Padahal CDR ini menjadi kunci yang mengarah ke Muchdi. Ketidakadaan CDR memastikan bila tidak ada komunikai antara Muchdi dan Polly. Dengan demikian runtuhlah skenario yang mengaitkan Muchdi dengan Polly dalam kematian Munir. Karenanya jika masih ada yang mengaitkan Muchdi dengan pembunuhan Munir, orang itu juga bisa distempel pendongeng hitam. (Catatan CDR yang ditunjukan adalah dalam bentuk printout yang mudah dimanipulasi)

Berikutnya, Polly diposisikan sebagai peracun Munir karena adanya kesaksian yang melihat kebersamaan keduanya yang tengah berbincang di Cafe Bean Bandara Changi Singapura. Apalagi setelah ditemukannya kejanggala-kejanggalan pada keberadaan Polly di Singapura.
Ditambah lagi dengan analisa Mun’im yang berdasarkan pada waktu Munir mulai mengalami gejala sakit perut dan jumlah arsenik yang ditemukan dari otopsi menyatakan TKP berada di Singapura.
Masalahnya, Mun’im sendiri tidak yakin jika arsenik masuk ke tubuh munir lewat jus jeruk yang diminum Munir di Cafe Bean. Menurutnya, arsenik akan mengendap dalam minuman dingin.

Menariknya, otopsi terhadap jenazah Munir hanya dilakukan sekali di Belanda. Polri menolak optopsi ulang karena menganggap otopsi di Belanda sudah valid. Jadi Tim Pencari Fakta melahap mentah-mentah hasil otopsi NFI. Memang akan menjadi masalah bila hasil otopsi ulang berbeda dengan hasil otopsi NFI. Polri dan Pemerintah pastinya akan dituding menyembunyikan sesuatu. Apalagi logika publik saat itu sudah tergiring untuk menempatkan BIN sebagai otak pembunuhnya. Di sisi lain dunia internasional sudah menyoroti kasus ini.

Padahal, ada dua hal yang bisa dipertegas dalam otopsi ulang. Pertama, apakah jumlah arsenik yang ditemukan di tubuh Munir masuk dalam satu waktu, atau akumulasi penumpukan, atau kombinasi keduanya (diracun dan akumulasi). Kepastian jumlah kandungan arsenik dan bagaimana racun ini masuk ke dalam tubuh Munir sangat dbutuhkan untuk mengetahui proses kematian Munir. Dan, jika Munir dibunuh, data kandungan arsenik ini akan menentukan waktu peracunan Munir. Dan waktu peracunan akan menunjukkan di mana Munir “mengkonsumsi” arsenik.

Jika dilakukan optopsi ulang dan kemudian didapat data yang beda, maka waktu peracunan Munir pun berubah. Bukan lagi ketika Munir di Changi, tetapi bisa dalam penerbangan Jakarta-Singapura. Bisa di bandara Soeta. Bisa juga sebelum Munir tiba di Soeta. Bisa juga di rumah kediamannya sendiri. Atau bahkan lebih ekstrim lagi, Munir tidak dibunuh sama sekali. Jika demikian maka semua skenario berantakan. Padahal seperti menurut Mun’im “harus ada yang dijebloskan ke dalam penjara.
Pemerhati transportasi publik, bus, truck serta sejarahnya.
  • Facebook
  • WhatsApp
  • Instagram
  • Next
    « Prev Post
    Previous
    Next Post »

    Note: Only a member of this blog may post a comment.

    Terima Kasih

    Followers