Pin It

30 May 2014

Posted by Widodo Groho Triatmojo on 02:15

Indonesia Merintis Paratroop

Kesuksesan sebuah operasi mestinya tidak bisa dilepaskan dari serangkaian latihan dan juga “percobaan”. Tak hanya itu, berbagai pengalaman juga turut menjadi penyumbang keberhasilan sebuah operasi. Terlebih bagi mereka yang baru kali pertama turun dalam medan perang, yang riuh dengan desingan peluru serta hujan bom. Tentu pengalaman perdana ini merupakan pelajaran berharga bagi prajurit yang masih hijau dengan tak lazimnya sebuah pertempuran–mereka tak menduga sebelumnya. Pengalaman ini tentu sangat berguna bagi seorang prajurit dalam pertempuran berikutnya. Mereka bisa belajar dari kesalahan, maupun kelebihan dari pertempuran-pertempuran yang pernah mereka lakoni.


Demikian halnya dengan berbagai pertempuran yang pernah melibatkan pasukan penerjun payung dalam sebuah operasi lintas udara. Kesuksesan operasi lintas udara jelas tidak bisa terjadi begitu saja. Percobaan, latihan, serta pengalaman sangatlah memberi pengaruh di dalamnya.

Konsep “trial and error” kiranya juga pernah dilakukan paratroop pertama di dunia–Fallschirmjager–ketika Jenderal Goering berinisiatif membangun mereka. Bahkan serangkaian kecelakaan kadang masih juga menimpa pasukan penerjun payung “paling mematikan” ini, meski porsi latihan mereka sudah lebih dari cukup. Seperti yang terjadi ketika menyerbu benteng Eben Emael, Belgia–aksi perdana Fallschirmjager yang menuai kesuksesan. Saat itu, ada beberapa glider mengalami kecelakaan. Seperti tali pengait putus di udara, atau pendaratan di luar dropping zone, sehingga beberapa pasukan terpaksa jadi sasaran empuk senapan mesin tentara Belgia.

Kesuksesan aksi pasukan lintas udara selama Perang Dunia II, kiranya menjadi inspirasi tersendiri bagi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia khususnya Angkatan Udara (AU). Dari gagasan tersebut, kemudian lahir Pasukan Gerak Tjepat (PGT) yang di kemudian waktu menjadi Korps Pasukan Khas (Korpaskhas) AU. Selain PGT, dari matra lain seperti Angkatan Darat (AD) juga hadir pasukan dari kesatuan lintas udara (Linud) semisal dari Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dan Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Dan kesuksesan operasi Linud di Dili tahun 1975–dalam Operasi Seroja–tak bias dilepaskan dari peran mereka. Oleh karena itu dalam bab ini, sekaligus bab penutup, akan membahas tentang kelahiran pasukan penerjun payung, yang juga merupakan tonggak dimulainya tradisi penggunaan paratroop dalam kemiliteran di Indonesia.

AKSI TERJUN PAYUNG DI KALIMANTAN

Hilangnya hubungan komunikasi dengan rakyat di Kalimantan, rupanya memancing kesabaran gubernur Kalimantan Ir. Pangeran Muhammad Noor untuk melakukan tindakan. Hal ini tak lain gara-gara Belanda telah menguasai Kalimantan, setelah mereka mengumumkan Agresi Militer I-nya, yang dimulai pada 21 Juli 1947. Saat itu, kekuatan militer di Kalimantan tidaklah sebesar Jawa. Malah bisa dikatakan sangat minim, para pejuang yang ada sebagian juga sedang dibutuhkan di Jawa. Pangeran Mohammad Noor berharap datangnya bantuan dari pemerintah. Akan tetapi ia juga menyadari, bahwa bantuan melalui laut jelas tidak bisa. Disebabkan adanya blokade laut yang diterapkan Belanda.

Selanjutnya Pangeran Muhammad Noor mengirim surat kepada Kepala Satuan Angkatan Udara (KSAU), yang isinya meminta bantuan agar AU bersedia melatih pemuda-pemuda asal Kalimantan untuk berjuang membantu saudara-saudaranya. Selanjutnya KSAU Suryadi Suryadarma bersama Markas Besar Tentara (MBT) mengadakan pertemuan untuk menindaklanjuti permintaan Pangeran M. Noor. Dalam rapat tersebut akhirnya diputuskan membentuk staf khusus yang bertugas menghimpun payung. Dalam hal ini KSAU didampingi Mayor Tjilik Riwut, yang berasal dari kabupaten Kota Waringin–orang asli Kalimantan.

Dari latihan dan seleksi yang dilakukan Tjilik Riwut, akhirnya terpilih 12 orang putra Kalimantan yang siap melakukan penerjunan. Sebelumnya, ada sekitar 60 orang yang mengikuti seleksi. Orang-orang ini tak hanya berasal dari Kalimantan, melainkan juga berasal dari Sulawesi, Jawa, juga Madura.

Selanjutnya 12 orang tersebut mendapat pelatihan berupa latihan teori terjun, serta cara melipat payung. Mengingat sempitnya waktu, latihan hanya dilakukan di darat dan mereka tidak sempat dilatih terjun dari pesawat.[1] Lama pelatihan pun hanya sekitar satu minggu.[2] Jumlah pasukan tersebut akhirnya menjadi 14 orang. Karena ketika pelatihan menjelang selesai, ikut bergabung dua orang dari PHB AURI, yaitu Opsir Muda Udara I Hari Hadisumantri dari Semarang sebagai montir radio, dan Sersan Udara F.M. Suyoto dari Ponorogo sebagai juru radio. Selanjutnya pasukan penerjun payung ini dipimpin Letnan Udara II Iskandar yang berasal dari kabupaten Sampit.

Tujuan operasi penerjunan yang bersifat secret mission ini adalah untuk menyusun kekuatan inti gerilya di daerah asal suku Dayak, Sepanbiha, membantu perjuangan rakyat setempat, membuka stasiun pemancar induk, serta menyiapkan daerah penerjunan (dropping zone) untuk operasi selanjutnya. Dua petugas PHB AURI beserta perangkat radio yang mereka bawa diharapkan menjadi pemancar strategis. Sehingga perjuangan dapat dikoordinasikan dengan perjuangan di Jawa serta Sumatera.

Dakota berkode RI-002 pengangkut mereka, berangkat dari Yogyakarta jam 02.30 dini hari tanggal 17 Oktober 1947.[3] Ketika jam menunjukkan angka 05.30, pasukan penerjun payung ini mulai melakukan penerjunan, setelah sebelumnya Tjilik Riwut belum yakin bahwa mereka sudah ada di wilayah udara Kalimantan. Dari ke-14 penerjun, 13 di antaranya berhasil mendarat, sedangkan satu orang yang masih di pesawat adalah Jamhani. Ia takut melakukan penerjunan, maklum tidak ada praktik terjun payung ketika pelatihan.

Pesawat Dakota RI-002. sumber : Istimewa
Pesawat Dakota RI-002. sumber : Istimewa

Setibanya di Kalimantan, ternyata sepasukan payung ini tidak mendarat pada dropp zone yang sudah direncanakan, Sepanbiha. Namun mereka mendarat di kampong Sambi, yang terletak di antara Sungai Seryuan, barat laut Kotawaringin. Keberadaan para penerjun yang terpencar, ditambah sulitnya medan–berupa hutan lebat–menyebabkan mereka baru bisa berkonsolidasi pada hari ketiga.[4]

Malang bagi pasukan payung yang baru kali pertama melakukan misi. Tanggal 23 November 1947, ketika baru tertidur pulas, mereka dikejutkan dengan serangan mendadak pasukan Belanda dari berbagai arah. Sudah bisa ditebak, pasukan pimpinan Iskandar yang tak bisa menguasai keadaan akhirnya dibikin kalang kabut. Tiga anggota pasukan payung termasuk Iskandar sendiri tewas, satu orang ditawan dan beberapa lainnya berhasil menyelamatkan diri sembari melakukan gerilya. Namun setelah beberapa bulan, mereka akhirnya ditangkap Belanda. Dalam pengadilan, Belanda tidak dapat membuktikan bahwa mereka adalah pasukan payung dan akhirnya para penerjun ini dihukum sebagai seorang kriminal biasa. Selanjutnya orang-orang ini baru bisa bebas setelah penandatanganan Konferensi Meja bundar (KMB).[5]


PASUKAN PERTAHANAN PANGKALAN

Berawal dari konsolidasi organisasi Badan Keamanan Rakyat Oedara (BKR) Udara di masa-masa awal kemerdekaan Indonesia untuk membentuk Organisasi Darat yaitu Pasukan Pertahanan Pangkalan (PPP). Pasukan ini sangat diperlukan untuk melindungi semua pangkalan udara yang telah direbut dari Jepang, terhadap serangan Belanda yang saat waktu itu juga berusaha menduduki kembali Republik Indonesia.

Pimpinan BKR yang saat itu dipegang Jenderal Soedirman dan BKR Udara yang dijabat Komodor Suryadi Suryadarma, berpendapat bahwa Belanda pasti akan menyerang kembali ibukota RI di Yogyakarta lewat udara. Oleh karena itu, perlu dibentuk satuan yang berfungsi melindungi tiap lapangan terbang di Republik Indonesia.

Bermodalkan senjata seadanya, mau tidak mau pangkalan udara harus mereka jaga. Seperti di lapangan udara Maguwo Yogyakarta, ada 150 orang Pasukan Pertahanan Pangkalan, dengan 34 teknisi di bawah pimpinan Kadet Kasmiran. Adapun persenjataan yang melengkapi pangkalan udara ialah penangkis udara pinjaman Angkatan Darat berjumlah du pucuk, yaitu ukuran 40 milimeter dan 20 milimeter. Selain itu dari pihak Angkatan Udara sendiri memiliki sembilan penangkis serangan udara 12,7 milimeter.

Sedangkan untuk persenjataan personal, ada senapan sten-gun yang berjumlah 30 buah. Ditambah lima pucuk senapan mesin kaliber 7,7 milimeter. Tak hanya itu, di sekitar Maguwo juga ditempatkan beberapa penangkis serangan udara sebagai antisipasi jika menyerang pemukiman warga. Sebagai sarana penyelamatan diri, jika memungkinkan, ada sejumlah pesawat latih dan pesawat-pesawat peninggalan Jepang semacam Churen, Cukiu, Hayabusha, dan lainnya. Beberapa di antaranya ada yang sudah siap di landasan, maupun masih ada di dalam hangar.

Pesawat Churen dan sejumlah siswa penerbangan bersiap dalam sebuah acara di Maguwo, Yogyakarta tahun 1946. sumber : Istimewa
Pesawat Churen dan sejumlah siswa penerbangan bersiap dalam sebuah acara di Maguwo, Yogyakarta tahun 1946. sumber : Istimewa

Namun kiranya, pasukan pertahanan ini tak mampu berkutik ketika pasukan Belanda melakukan serangan pada 19 Desember 1948. Semua kekuatan udara RI, terutama PPP dihancurkan tak bersisa oleh pesawat bomber dan penyerbu milik Belanda. Termasuk sang pimpinan pasukan, Kadet Kasmiran, yang juga ikut terbunuh.

catatan-catatan sumber :
[1] Irna H.N. Hadi Soewito, Nana Nurliana Suyono, Soedarini Suhartono, (2007), Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 116. Selain ketiga orang tersebut, ke 11 orang lain di antaranya Ahmad Kosasih, Bachri, J. Bitak, C. Williem, Imanuel, Amirudin, Ali Akbar, M. Dahlan, JH. Darius, dan Marawi.
[2] Para pelatih yang terlibat dalam kursus singkat ini adalah mereka yang pernah melakukan beberapa kali aksi terjun payung di Indonesia, seperti Opsir Udara II Sujono, Opsir Udara II Amir Hamzah, Opsir Muda Udara III Suroyo, Sersan Udara Mispar dan Kopral Udara Matyasir. Kesemuanya pernah melakukan terjun payung di antaranya penerjunan Maguwo tanggal 11 Februari 1946 dan di lapangan terbag Gadut, Bukittinggi 24 Maret 1947. Baca ibid., hlm. 60 & 116.
[3] Tanggal ini nantinya dijadikan tanggal kelahiran Korps Pasukan Khas  TNI AU.
[4] Barang bawaan berupa amunisi, bahan makanan, peralatan kemah, bahkan peraltan radio yang harusnya segera dipasang ikut terserak. Tak hanya itu, misi pemasangan radio pemancar yang bisa menghubungkan komunikasi dengan pemerintah di Yogyakarta terpaksa diurungkan, karena perlengkapan radio yang ditemukan dalam keadaan rusak parah. Baca Nila Suseno (penyunting), (2008), Tjilik Riwut Berkisah: Aksi Kalimantan dalam Tugas Operasional Militer Pertama Pasukan Payung Angkatan Udara Republik Indonesia, Pusakalima: Palangkaraya, hlm. 26.
[5] Konferensi meja bundar (KMB) berlangsung dari tanggal 23 Agustus 1949. Melalui perundingan berlarut-larut, akhirnya pada 2 November 1949 dicapai kesepakatan antara republic Indonesia dan Kerajaan Belanda, tentang penyerahan kedaulatan Indonesia. Tim Penyusun, (1981), 30 Tahun Indonesia Merdeka: 1945-1949, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, hlm. 237.

Di Unggah dari Buku "PARATROOP Pasukan Penyergap dari Udara"
 
Pemerhati transportasi publik, bus, truck serta sejarahnya.
  • Facebook
  • WhatsApp
  • Instagram
  • Next
    « Prev Post
    Previous
    Next Post »

    Note: Only a member of this blog may post a comment.

    Terima Kasih

    Followers