Pin It

16 February 2018

Posted by Widodo Groho Triatmojo on 11:03

3 Pasal Aneh Dalam UU MD3

Kita semua pasti masih ingat dengan jelas, sejak pasal penghinaan presiden dan wakil presiden "dihidupkan kembali" dan masuk dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), kritik tajam mengalir deras ke pemerintah. Kritik itu bahkan datang dari Komplek Parlemen di Senayan, Jakarta. Dua Wakil Ketua DPR, Fadli Zon dan Fahri Hamzah, sejak awal menolak keras adanya pasal penghinaan presiden dan wapres, lantaran dinilai akan membunuh demokrasi.

3 Pasal Aneh Dalam UU MD3

Namun, kini justru konsistensi DPR dipertanyakan pasca-pengesahan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Sebab, di dalamnya terdapat pasal penghinaan DPR dan pribadi anggotanya. UU MD3 adalah Sebuah undang-undang yang direvisi dalam waktu kilat untuk menambah kekuasaan wakil-wakil kita di DPR. Nah, di saat perhatian kita tertuju pada berbagai isu, UU MD3 kembali direvisi dalam waktu beberapa hari saja. Padahal bisanya revisi undang-undang itu bisa lama sekali. Kok bisa yang ini cepet banget?

Ternyata, Begini Isi UU MD3:

1. Tiap orang yang dianggap “merendahkan DPR” dapat dipenjara.

Pasal 122 yang membuat DPR, kembali melalui MKD, bisa mempidanakan orang-orang yang dianggap merendahkan DPR dan pribadi anggota DPR. Tujuan pasal ini yakni untuk menjaga marwah dan kehormatan DPR sebagai lembaga tinggi negara dan pribadi anggota DPR sebagai pejabat negara. Pasal ini menandakan kembali hidupnya pasal penghinaan peninggalan Belanda yang disebut Haatzaai Artikelen. Namun, dilihat dari sejarahnya, pasal itu berlaku untuk simbol negara. Pertanyaanya, apakah DPR atau anggota DPR adalah simbol negara?

Ini adalah upaya untuk membungkam masyarakat yang ingin mengkritik DPR. DPR seakan menjadi lembaga yang otoriter. 250 juta masyarakat terancam dengan peraturan ini, apalagi jelang pilkada dan pilpres. Mau bentuknya seperti meme setnov dulu, ataupun tweet, bahkan dikutip di media sekali pun bisa kena.

Nah, Pasal 122 huruf k dalam UU MD3 yang baru disahkan dinilai membuat DPR dan anggotanya semakin sulit dijangkau oleh suara kritis publik. Sebab, ketentuan itu membuka peluang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) memidana siapa saja yang dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

2. Kalau dipanggil DPR, tidak datang = Bisa dipanggil paksa oleh polisi

Dalam revisi UU MD3, pasal 73 mewajibkan polisi membantu memanggil paksa seseoarang yang akan diperiksa DPR, namun enggan datang. Ketentuan ini ada lantaran DPR punya pengalaman buruk. Salah satunya yakni ketika KPK tak mau datang saat dipanggil oleh Pansus Angket DPR.

Pemanggilan paksa ini termasuk kepada pimpinan KPK yang sebelumnya bukan menjadi kewenangan DPR. Langkah ini bisa menjadi intervensi DPR terhadap proses pemberantasan korupsi di KPK.

3. Kalau anggota dewan mau diperiksa dalam kasus, harus dapet persetujuan MKD (Majelis Kehormatan Dewan), yang anggotanya… ya mereka-mereka lagi.

Pasal 245 yang mengatur bahwa pemeriksaan anggota DPR harus dipertimbangkan MKD terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin bagi aparat penegak hukum. Bukankah semua orang kedudukanya sama di depan hukum? Kenapa pemeriksaan hukum anggota DPR harus atas pertimbangan MKD?

Hal ini dapat menghambat pemberantasan korupsi dengan semakin sulitnya memeriksa anggota DPR yang diduga melakukan korupsi. Lama-kelamaan, ini akan membuat korupsi makin tumbuh subur di DPR.

Meski DPR tahu bahwa masyarakat akan banyak menentang, tapi mereka tetap mengesahkan UU MD3. Mungkin karena itu disahkan secepat kilat.

Lalu, partai apa saja yang mendukung UU MD3 ini? Berikut DELAPAN PARPOL yang mendukung revisi UU MD3 yang terakhir ini:

1. PDI Perjuangan
2. Partai Golkar
3. Partai Demokrat
4. Partai Hanura
5. Partai Gerindra
6. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
7. Partai Amanat Nasional (PAN)
8. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Nah itulah 3 pasal UU MD3 yang membuat kita gagal paham bagaimana memahami cara berpikir DPR. Padahal telah kita ketahui bersama, MK dalam putusanya Nomor 013-022/PUU-IV/2016, membatalkan pasal penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden lantaran dianggap bertentangan dengan semangat demokrasi. Di Indonesia sendiri, batas presiden sebagai kepala negara (sebagai simbol negara) dengan kepala pemerintahan sulit dipisahkan. Lantaran hal itu pula, MK membatalkan pasal tersebut.
Lalu kenapa DPR memunculkan pasal itu? bahkan untuk dirinya sendiri.
Pemerhati transportasi publik, bus, truck serta sejarahnya.
  • Facebook
  • WhatsApp
  • Instagram
  • Next
    « Prev Post
    Previous
    Next Post »

    Note: Only a member of this blog may post a comment.

    Terima Kasih

    Followers