Pin It

25 November 2014

Posted by Widodo Groho Triatmojo on 20:35

Motor Dan Mobil Berbahan Bakar Air, Mungkinkah?

Akhirnya, pemerintah Indonesia menaikkan juga harga jual BBM dalam negeri, dengan mencabut subsidi BMM, sehingga akhirnya harga bensin menjadi Rp 8500,/liter. Keputusan pemerintah ini tentu akan berdampak multiplyer effect terhadap inflasi dan kesulitan bagi kita. 

Mari kita coba beriktiyar mencari solusi dengan membuat sendiri peralatan generator gas Hidrogen, dengan cara sederhana: Elektrolisis Air Murni (H2O) menjadi gas HHO yang kita masukkan ke dalam saluran udara (Air Intake) di Karburator Motor atau Mobil Kita. Penjelasan teknis dan teoritisnya, saudara-saudara dapat mempelajarinya di situs-situs internet. Dan salah satu tutorialnya bisa di Download di sini.






Sebagai referensi, saya copy kan dari beberapa artikel yang dimuat media cetak. 


*HEMAT BBM DENGAN SUPLEMEN AIR*

Dimuat di Surat Pembaca, Suara Pembaruan, Rabu, 14 Mei 2008
Suplemen air ternyata bisa membuat motor/mobil kita lebih ringan tarikannya,
hemat BBM-nya dan berkurang emisi CO2-nya. Kenapa? karena gas Hidrogen yang
dihasilkan dari pemecahan elemen H2O membuat kinerja pembakaran di mesin
lebih sempurna.

Teman kost saya sudah memverifikasi percobaan tersebut. Sebelumnya teknologi
sederhana tepat guna ini sudah dikembangkan secara swadaya oleh Edukasi Gerakan Masyarakat Cinta Air di lereng Merapi. Tepatnya di dusun Sumber Muntilan Jawa Tengah di bawah supervisi Romo Kirjito Pr. 



Kekuatan arus listrik 2 A diambil dari accu (aki), lantas dialirkan lewat elektrode ke dalam botol air, sehingga memecah elemen H20 menjadi 2H dan 1O. Gas itulah yang kemudian disalurkan melalui selang kecil ke in take filter. Sedangkan untuk menampung airnya cukup menggunakan botol bekas air mineral, termos anak, toples dll bisa dibaca disini

–>Metrotvnews.com, Nganjuk: Kontroversi tentang menghilangnya penemu bahan bakar berbahan dasar hidrogen, Joko Suprapto, berakhir sudah. Joko Suprapto ternyata tidak hilang. Ia sedang menenangkan diri di tempat kelahirannya di kawasan Nganjuk, Jawa Timur. Metro TV yang menemuinya, Jum’at (23/5), Joko Suprapto menyatakan, ia kabur dari proyek blue energy yang didukung penuh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menenangkan diri. Dia merasa sudah tidak nyaman lagi dengan pihak-pihak yang mendukung proyek ini. Joko menuturkan, dia merasa kerap ditekan oleh pihak-pihak pendukung proyek dan dipaksa menandatangani kontrak yang mengharuskan dirinya menyerahkan semua rahasia penemuannya. Joko juga tidak sepakat dengan terminologi blue energy yang diberikan pemerintah karena dia tidak pernah merasa memberikan nama itu.
Kendati begitu, Joko mengaku hubungannya dengan pemerintahan Presiden SBY baik-baik saja. Dia juga meminta maaf kepada Presiden SBY karena belum sempat berkomunikasi langsung dengan Presiden. Kendati kabur dari proyek blue energy di Cikeas, Jawa Barat, Joko tetap melanjutkan inovasi untuk menyempurnakan produksi bahan bakar berbasis hidrogen di sebuah lokasi di Nganjuk, Jawa Timur. Proses penyempurnaan produk tersebut memerlukan dana yang sangat besar. Namun, Joko yakin hasil penemuannya nanti bisa bermanfaat banyak bagi banyak orang. (DOR) 

IPTEK

Bahan Bakar Air, Mungkinkah?

Rabu, 7 Mei 2008 | 00:21 WIB 

NINOK LEKSONO 

”Saya yakin bahwa suatu hari air akan digunakan sebagai bahan bakar bahwa hidrogen dan oksigen yang menyusunnya, digunakan sendiri-sendiri atau bersama-sama, akan menjadi sumber panas dan cahaya yang tidak ada habisnya, dengan daya yang batu bara tak mampu menghasilkannya.”

(Jules Verne, The Mysterious Island, 1874)

Dunia dilanda kebingungan. Itu ungkapan yang mungkin bisa digunakan untuk melukiskan keadaan yang ada sekarang ini. Ketika bahan bakar minyak (BBM) masih menjadi pilar energi global, harganya cenderung tak terkendali dan menyusahkan banyak negara, termasuk Indonesia yang harus pontang-panting menyesuaikan anggaran belanjanya.
Masuk akal kalau lalu pikiran diarahkan ke energi alternatif. Pikiran ini memberi kebajikan lain justru ketika dewasa ini ada isu lain yang tidak kalah mendesak, yakni pemanasan global, di mana pembakaran BBM diyakini menjadi penyebab utama.
Hanya saja, meski berfaedah dalam kedua hal di atas, energi alternatif tak mudah diterapkan dengan alasannya masing-masing, mulai dari tentangan masyarakat untuk energi nuklir hingga lokasi terbatas untuk energi geotermal.

Belakangan ini, salah satu yang gencar diwacanakan adalah energi nabati (biofuel). Amerika Serikat mengembangkan bahan bakar nabati (BBN) dalam wujud etanol dari jagung, sementara Brasil mengembangkan BBN dari tebu. Namun, di sini pun kemudian muncul permasalahan, khususnya pada era ketika harga pangan melonjak. Ada yang menengarai salah satu penyebab kelangkaan pangan — yang lalu menyebabkan kenaikan harga pangan — adalah makin sempitnya lahan pertanian untuk tanaman pangan karena sebagian telah digunakan untuk menanam tanaman BBN. 

Bahan bakar air

Khususnya dalam pembahasan mengenai energi air ini, ada kalangan yang mengatakan, sebenarnya selama ini kita dibohongi oleh kalangan ilmiah. Dengan keberhasilan mengajukan bukti penggunaan air biasa dalam berbagai mesin, apa yang selama ini diajarkan di bangku sekolah harus dianggap keliru.
Menurut situs H2Earth Institute, air biasa kini sudah bisa digunakan (dibakar) pada mesin internal combustion engine (ICE) atau turbin, mengolahnya menjadi bahan bakar (fuel on-demand), saat itu juga (real time), tanpa transportasi atau penyimpanan hidrogen cair atau terkompresi, alkali kaustik, garam-garam katalis, atau hidrida logam.

Hal ini bisa dilakukan pada kendaraan bermotor dengan satu alat tambahan kecil yang ditenagai oleh sistem elektris kendaraan. Jadi, hal ini pada dasarnya adalah menjadikan air sebagai bahan bakar. Proses ini hanya menghasilkan uap air sebagai bahan buangan, yang dengan mudah bisa diambil kembali oleh satu radiator (penukar bahang) dan disirkulasikan kembali di sistem mesin bila dikehendaki.

Gaung di Indonesia

Apa yang dipromosikan oleh H2Earth Institute boleh jadi sulit dicerna oleh alam pikir konvensional, betapapun yakinnya lembaga itu atas ide ini. Di sini, yang dibuat adalah Sel Bahan Bakar Air, yakni teknologi untuk konversi efisien air menjadi gas bahan bakar (combustible) yang dikenal sebagai ’hydroxy’ atau ”Gas Brown”. Teknologi ini bisa dikatakan merana tak dilirik setelah penemunya (Stanley Meyer), demikian pula penemu senyawa gas baru (Dr Yull Brown), dan ahli teori yang memikirkan produksi gas tersebut melalui resonansi molekuler (Dr Henry Puharich) semua meninggal pada pertengahan tahun 1990-an. 


Mungkin yang lebih dekat dengan pengalaman kita sejauh ini adalah apa yang dikemas dalam konsep hydrogen boost (Lihat situs www.hydrogen-boost.com). Ini adalah sistem peningkatan kinerja jarak bensin yang didasarkan pada generator gas hidrogen yang ada pada mesin. Pengembang sistem ini juga punya sistem lebih lengkap yang bisa meningkatkan jangkauan kilometer hingga 15-25 persen pada kendaraan yang diuji.
Seperti dijelaskan dalam situsnya, hidrogen—bersama dengan kombinasi gas-gas elektrolisa lain (dalam hal ini adalah Gas Brown)—yang dimasukkan dalam bagian intake mesin akan meningkatkan penyebaran nyala selama pembakaran sehingga bahan bakar dalam wujud uap yang bisa dibakar pun jadi lebih banyak. Manfaat penambahan hidrogen pada mesin pembakaran internal, termasuk mesin diesel, sudah banyak diselidiki.

Di Indonesia juga terdengar kabar adanya pemanfaatan energi air ini. Sebagaimana disampaikan oleh rohaniwan Romo Kirjito di Yogyakarta, April lalu, rekannya, Joko Sutrisno, telah mencoba sistem ini untuk mobil dan motor. Kinerjanya untuk jip Katana adalah 1 liter bensin bisa untuk 20 km, sementara untuk motor, 1 liter bisa untuk 120 km.

Air yang digunakan untuk meningkatkan kinerja bahan bakar ini sekarang memang baru bersifat suplemen. Itu sebabnya, Joko masih enggan memublikasikan sistem yang ia gunakan. Cita-cita Joko sendiri, menurut Romo Kirjito, adalah memanfaatkan teknologi ini untuk menolong orang desa miskin dalam memperoleh energi efisien. 

Kirjito mengingatkan, ketika AS dan Eropa sudah mulai banyak mendalami pemanfaatan hidrogen, baik untuk tujuan industri maupun perorangan, Indonesia pun seyogianya tidak ketinggalan. Sebagaimana penerapan energi alternatif lain, penerapan energi air sebagai bahan bakar pun diperkirakan tidak akan lepas dari hambatan.

Jujur harus diakui bahwa sekarang ini dunia masih didominasi oleh ekonomi minyak sehingga energi alternatif—meskipun kondisi sekarang sudah masuk dalam tingkat darurat—tampaknya masih nonprioritas. Adakah kekuatan yang bisa mewujudkan impian H2Earth Institute untuk memutus rantai BBM sehingga masyarakat secara seketika, diskontinu, dan radikal (disruptive) bisa beralih ke teknologi energi baru yang secara lingkungan, ekonomi, dan politik memberi solusi atas permasalahan yang ada sekarang ini? 

Informasi dari forum Serayamotor.com. 


Kalau dibuat bahan bakar, jelas air / H2O  kudu dikomposisi dulu jadi H2 sama O2 


karena yg mau dipake “gasnya” sebagai bahan bakar perlu dibuat tabung yg terpisah pada anode untuk O2 dan katode untuk H2 (anode & katode dipake alloy-Pt yg tdk terlibat dlm reaksi). Dari reaksi di atas tidak dapat berjalan auto karena E (cell) < 0 dimana E (cell) = E (Oxidation) + E (Reduction) jadi butuh bantuan energi dari luar ~ 1.23 V pada 25 °C. 

Dan ingat karena yang dipakai air murni/aquadest, proses elekrolisisnya sangat lambat (konduktivitas elektrolisisnya kecil) dan ini yang jadi masalah jika digunakan sebagai bahan dasar bakar.

Untuk mempercepat reaksi di atas dibutuhkankan “elektrolit” yg larut dalam air murni dengan harga yg terjangkau, bisa kita pakai garam komplek kation Na+ ato Li+ (dipake karena potensial elektrode lebih kecil dr H+, sehingga O2 muncul) dengan anion sulfate (SO4)2- (dipake karena tidak mengoksidasi jadi enggak ngeribetin proses elektrolisis) —> Hofmann voltameter. 

Elektrolisis semacam ini tidak dapat mengkonversi 100% energi listrik menjadi energi kimia hidrogen, memang udah hukum alam kecenderungan menjadi senyawa yg lebih stabil, karena O2 pada anode terus menerus tereduksi menjadi H2O kembali & ini menurunkan effisensi. Dalam skala industri hanya dapat 40% dari proses semacam ini. 

Yang lebih cepat lagi & murah, dapat dilakukan reaksi elektrosis pada suhu tinggi ~ 100°C (butuh 350 Mjoule ~ eff. 41%) & 850°C (bth 225 Mjoule ~ eff. 64%). 


Berapa energi yg dihasilkn dr H2 dan O2
2 H2(g) + O2(g) → 2 H2O(g) + 572 kJ (atau per mol 286 kJ). 

Pemerhati transportasi publik, bus, truck serta sejarahnya.
  • Facebook
  • WhatsApp
  • Instagram
  • Next
    « Prev Post
    Previous
    Next Post »

    Note: Only a member of this blog may post a comment.

    Terima Kasih

    Followers